A. BIOGRAFI ABU HANIFAH
Abu Hanifah memiliki nama lengkap an-Nu’man bin Tsabit
bin Zauth bin Mah. Lahir di Kufah pada tahun 80 H (696 M) pada zaman Dinasti
Umayyah, ketika raja Abdul Malik bin Marwan memerintah. Dan meninggal di Kuffah
pada tahun 150 H (767 M). Beliau dilahirkan ketika bapaknya sudah berada di
kuffah sehinnga beliau bukan lagi keturunan bangsa Arab asli dan beliau
dilahirkan di tengah-tengah keluarga Persia. Ia diberi gelar “an-Nu’man” yang
berarti darah atau roh, agar menjadi generasi penerus kebaikan. Ayahnya
merupakan tokoh ahli fikih dan tokoh masyarakat. Ia mendapat gelar “hanifah”
(mu’annats dari asal kata hanif) yang berarti ahli ibadah, karena ia senang dan
condong terhadap agama kebenaran. Dalam riwayat lain gelar tersebut dikarenakan
ia terus menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah). Saat
kelahirannya, banyak sahabat yang masih hidup, di antara mereka adalah Anas bin
Abu Hanifah (pembantu Rasul), Abdullah bin Abi Auf, Sahl bin Said as-Sa’idi,
dan Abu Tufail bin Amir bin Watsilah.
Kuffah, kota kelahiran Abu Hanifah pada masa itu adalah
suatu kota besar, tempat tumbuh berbagai ilmu dan budaya. Di sana diajarkan
falsafah Yunani, hikmah Persia dan di sana juga (sebelum Islam datang) beberapa
mazhab dalam agama Nasrani tumbuh kembang dan memperdebatkan masalah-masalah
politik, dasar-dasar aqidah dan lain sebagainya. Selain itu, Kuffah merupakan
kota di mana lahir sejumlah mujtahid dan juga hidup beberapa aliran pemikiran
dalam ilmu kalam, seperti Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Kuffah menjadi
tempat pertemuan antar budaya Arab dan non-Arab, sehingga tampak lebih majemuk.
Secara geografis, Kuffah yang berada jauh dari pusat tradisi Nabi telah ikut
menentukan aktivitas warna ijtihad, yakni lebih rasional, kritis, dan
realistis. Profensi Abu Hanifah sebagai seorang saudagar menjadikan pola
pemikirannya tidak terikat dengan hal yang besifat tekstualis. Kosmopolitan dan
kompleksitas kota Baghdad dan Kuffah nyata-nyata berpengaruh terhadap pola pemikiran
hukum Abu Hanifah. Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama besar dan terkenal
di kota-kota besar maka beliau dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah.
Abu Hanifah sering disebut sebagai pemuka ahl ra’yi.
Pemilihannya menggunakan akal-rasional dalam menetapkan hukum ketika tidak
menemukan landasan hadis yang populer merupakan langkah kehati-hatiannya dalam
meriwayatkan hadis, karena takut adanya dusta dalam periwayatan hadis. 17
Kerangka berfikir inilah yang kemudian diadopsi oleh para muridnya. Di antara
muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf dan Al-Syaibani. Abu Yusuf merupakan
pemuka fikih di Basrah dan Kuffah. Ia sangat ahli dalam meriwayatkan hadis
sehingga ia menjadi seorang hafidz. Dia memiliki andil besar dalam perkembangan
mazhab Hanafi. Kealimannya di bidang hukum Islam menjadikan Abu Yusuf diangkat
menjadi hakim di Baghdad dan kemudian menjadi hakim tinggi pada masa khalifah
Harun al-Rasyid. Melalui kedudukan tersebut, ia berwewenang untuk mengangkat
dan memberhentikan hakim-hakim di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyyah. Dengan
kedudukan ini pula, ia mempunyai kesempatan untuk menyebarluaskan mazhab Hanafi
dalam praktek hukum. (Juliansyahzen, 2015 : 77)
Selain pernah melakukan pengembaraan ke Basrah, Makkah
dan Madinah dalam rangka mengembangkan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan
yang telah diperolehnya. Di antara guru-guru yang ditemuinya adalah Hammad ibn
Abu Sulaiman Al-Asy’ari (w. 120 H/738 M) faqih kota Kufah, ‘Atha’ ibn Abi Rabah
(w. 114 H/732 M) faqih kota Makkah, ‘Ikrimah (w. 104 H/723 M) maula dan pewaris
ilmu Abdullah ibn Abbas, Nafi’ (w. 117 H/735 M) maula dan pewaris ilmu Abdullah
ibn Umar dan lain-lain.
Ia juga belajar kepada ulama Ahlul-Bait seperti Zaid ibn
Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir (57-114 H/676-732
M), Ja’far ibn Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/699-765 M) dan Abdullah ibn
Al-Hasan. Ia juga pernah bertemu dengan beberapa orang sahabat seperti Anas ibn
Malik (10 SH-93 H/612-712 M), Abdullah ibn Abi Aufa (w. 85 H/704 M) di Kufah,
Sahal ibn Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/614-697 M) di Madinah dan Abu Al-Thufail
Amir ibn Watsilah (w. 110 H/729 M) di Makkah serta ulama besar lainnya.
Abu Hanifah pernah belajar kepada Imam Amir Syarahil
asy-Syu’bi, kemudia beliau menasehati Abu Hanifah supaya rajin belajar ilmu
pengetahuna dan belajar ditempat tertentu. Nasihat tersebut diterima Abu
Hanifah, dimasukkan kedalam hati dan dikerjakan dengan benar-benar. Kemudian
beliau tertarik untuk mempelajari ilmu fiqh yaitu ilmu yang di dalamnya
membahas soal-soal yang berkenaan dengan hukumnya. Sebagai bukti bahwa beliau
pandai ilmu fiqih adalah pengakuan para alim ulama kala itu. Kecerdasan Abu
Hanifah bukan hanya mengenai hukum islam, tetapi dalam satu riwayat menyebutkan
bahwa beliau juga terkenal orang yang pertama kali memiliki pengetahuan tentang
cara membuat baju dari ubin, benteng di Baghdad.
Adapun guru-guru beliau adalah para ulama Tabi’in dan
Tabi’it Tabi’in diantaranya abdullah bin Mas’ud (Kuffah), Ali bin abi Thalib
(Kuffah), Ibrahim al-Nakhai, Amir bin Syarahil al-Sya’bi, Imam Hammad bin Abu
Sulaiman (beliau adalah orang ahli figh yang mansyur pada masa itu), Imam Atha
bin Abi Rabah, Imam Nafi’ Maulana Ibnu Umar, Imam Salamah bin Kuhail, Imam
Qatadah, Imam Rabi’ah bin Abdurahman, dan masih banyak lagi. Sedangkan murid
beliau yang paling terkenal adalah Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-
Anshari, Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, Imam Zafar bin
Hudzail bin Qais al-Kufi, dan Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy. (Jaih Mubarok,2000:
34-36).
Sebagai seorang ulama besar tentu saja banyak karya yang
di hasilkan, begitu pula dengan Imam Abu Hanafi yang juga banyak menghsilak
karya atau kitab yang ia tulis sendiri di antaranya adalah al-fara’id yang
khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya, asy-Syurut membahas
tentang perjanjian, al-Figh al-Akbar membahas ilmu kalam.
Pada tahun 96 H beliau menunaikan ibadah haji bersama
ayahnya dan di Masjid al-Haram beliau bertemu dengan seorang sahabat, Abdullah
bin al-Harts bin Juz’i az-Zubaidi. Beliau mendengar sebuah hadits darinya,
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang memahami agama Allah,
niscaya Dia akan mencukupi pemahamannya dan memberinya rizki yang tidak
disangka-sangka.”
Selain pendiri Madrasah Ahli Ra’yi, beliau juga
meriwayatkan hadits dari Atha bin Abi Rabah, Nafi’ mawla Ibnu Umar, Qatadah,
dan Hamad bin Sulaiman, serta beliau mengambil fiqih dari Ibrahim an-Nakha’i
dari al-Qamah an-Nakha’i dan al-Aswad bin Yazid dari Ibnu Mas’ud. Beliau banyak
menghabiskan waktu mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari
hal itu. Beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam
berpendapat, dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang samar dan
sulit. (Kasdi, 2014 :219 ).
Imam Abu Hanifah merupakan seorang imam yang berjiwa
besar, bijak dalam bidang ilmu pengetahuan dan tepat dalam memberikan suatu
keputusan atas suatu masalah atau peristiwa yang dihadapi. Beliau seorang
pedagang pakaian sutra di Kufah, dikenal kebenarannya dalam bermuamalah dan
tidak suka menipu. Beliau baik pergaulannya, dermawan, wara’ dan terpercaya
tidak membicarakan hadits kecuali yang dihafalnya. Beliau bagus pemikirannya,
jeli pendapatnya, cakap beranalogi, pakar dalam fiqih dan tokohnya. Ibnu
Mubarak berkata, “Orang yang paling paham dalam fiqih adalah Abu Hanifah, saya
belum pernah melihat orang yang ahli dalam masalah fiqih seperti dia.” Abu
Yusuf juga berkata, “Ketika aku berjalan bersama Abu Hanifah, beliau tidak
berbicara kepadaku tentang sesuatu yang belum aku kerjakan, beliau juga selalu
menghidupkan malam (shalat malam).”(Muhammad Ali as-Sayis, 2003:135).
Imam Abu Hanifah berijtihad untuk mengistibbatkan huku,
apabila sebuah masalah tidak terdapat hukum yang qath;iy atau masih bersifat
Zhanny, Imam Abu Hanafi menggunakan metode dalam mengidentifikasi hukum adalah
dengan menggunakan Al-quran dan Al-sunnah.. Imam Abu hanafiah berpendapat bahwa
Al-quran merupakan sendi al-syariah dan tali Allah yang kokoh sedangkan
al-sunnah berfungsi sebagai penjelas dan perinci kandungan al-kitab yang mujmal
sebagaimana fungsi nabi Muhammad menyampaikan wahyu yang diturunkan kepadanya.
B. SIFAT
DAN KECERDIKAN IMAM ABU HANIFAH
Imam abu hanifa merupakan orang
memiliki sifat mulia dan cerdik. Beberapa sifat dan kecerdasan yang dimilikinya
berikut ini :
1.
SIFAT-SIFAT IMAM ABU HANIFAH
A.
Sifat Wara’
Wara dapat diartiakan sebagai nilai
kesucian diri supaya tidak jatuh atau mengalami kecelakaan adapula yang
mengartikan wara sebagai sikap menghindari hal-hal subhat (samar hukumnya).
Sifat wara juga merupakan sebaik baiknya sifat hal itu sebagaimana dikatakan
dalam sebuah hadis yang berbunyi :
“keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Dan, sebaik baikkeberagaman adalah sifat wara”
B. Sifat
Pemurah
Sifat mulia imam au hanifah berikutnya adalah pemurah. Sifat pemurah abu hanifah sudah tersebar sangat luas. Khususnya dikalangan para sahabat.
C. Sifat
Sabar
Setiap kali ada orang yang membenci dan bebuat zholim kepadanya, imam abu hanifah menghadapinya dengan kesabaran. Ia pernah berkata, “wahai tuhanku, barang siapa yang membenci kami, tetaplah hati kami apang terhadap mereka”. Perkataan tersebut menjadi bukti kuat betapa imam abu hanifah merupakan sosok ulama yang sabar.
D. Bijaksana
Bijaksana termasuk salah satu sifat mulia imam abu hanifah. Kebijaksanaan yang tinggi membuatnya tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungannya. Terlebih ia tidak mudah terpengaruh oleh pendapat-pendapat buruk dari orang-orang disekitarnya. Meskipun demikian, dalam mengambil suatu kesimpulan, imam abu hanifah tetap menyampaikan pendapatnyadengan penuh bijaksana.
E. Sifat
Tegas
Tegas dan tidak mudah pasrah adalah sifat lain dari imam abu hanifah. Karena sifat tegas itulah, ia telah berhasil menjadi seorang mujtahid tersohor dan memiliki banyak murid hebat.
F. Amanah
dan Cakap
Sebagai seorang mujtahid dan juga
seorang pembisnis hebat, imam abu hanifah selalu amanah dan sangat cakap dalam
urusan perniagaan, dalam perniagaan ia tidak pernah menipu dan memakan
keuntungan yang banyak. (Aizid, 2016, hal 41-46)
2.
KECERDASAN IMAM ABU HANIFAH
Imam abu hanifah
adalah orang yng sangat cerdas. Berkat kecerdasannnya itu, ia menjadi
pendengar dan pemberi solusi yang baik
bagi orang-orang yang memiliki masalah. Hampir semua masalah dapat dicarikan
solusi olehya. Berikut ini adalah beberapa peristiwa yang menjadi bukti
kecerdasannya.
a.
Menjawab pertanyaan seorang ateis
Salah satu peristiwa yang
membuktikan kecerdasan imam abu hanifah adalah ketika ia menjawab pertanyaan
seorang ateis. Konon, imam abu hanifah pernah berdialog dengan seorang ateis
dikota Bagdad. Ateis adalah Orang yang mengingkari wujud tuhan atau tidak
mengakui adanya tuhan. Kemudian orang ateis tersebut bertanya tentang keberadaan tuhan imam abu
hanifah. Mendengar pertanyaan dari si ateis tersebut imam abu hanifah tidak
langsung menjawab semua pertanyaanya
b.
Mendatangi penebar fitnah
Bukti bahwa imam anu hanifah
memiliki kecerdasan tinggi lagi adalah sebuah peristiwa saat imam abu hanifah
menghadapi seorang laki-laki di Kuffah, yang telah menyebarkan berita tentang
utsman bin affan. Laki-laki itu berkata pada orang-orang bahwa seorang yahudi
dan menjadi yahudi lagi setelah masuk agam islam sebagai seorang mujtahid dan
tabiin tentu saja abu imam hanafi tidak terima dengan fitnah laki-laki
tersebut. Kemudia ia pun mendatangi rumah laki-laki itu.
Saat tiba dirumah kuffah tersebut
imam abu hanifah berkata “aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang
bernama fulanah untuk seorang sahabatku” si laki-laki itu mengetahui nahwa imam
abu hanifah adalah seorang yang terpandang
dan berilmu agama tinggi diwilayah tersebut seingga iapun menyambut imam
abu hanifah seraya berkata “selamat atas kedatagan anda. Orang seperti anda
tidak layak ditolak keperluannya, wahai abu hanifah siapakan orang yang
meminang itu”. Imam abu hanifah menjawab “seorang terkemuka dan terhitung kaya
ditengah kaumnya, dermawan, dan ringan tangan, hafal kitabuallah, menghabiskan
malam dengan satu ruku’. Serta sering menangis karena takwa dan takut kepada
Allah SWT” karena merasa takjub dengan penjelasan imam bau hanifah laki-laki itupun
berkata “wah wah cukup wahai abu hanifah. Sebagian saja yang anda sebutkan itu
sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri amirul mukminin.” Lalu imam
abu hanifahberkata “hanya saja dia seorang yahudi” “yahudi? Apakah anda ingin
saya menikahkan putri saya dengan seorang yahudi, wahai abu hanifah? Demi Allah
aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya
dari yang awal hingga akhir.” Serunya dengan nada suara meninggi. Lalu imam abu
hanifah menjawab “kau menolak menikahkan putrimu dengan seorang yahudi dan
mengingkarinya dengan keras, tetapi kau sebarkan berita kepada orang-orang
bahwa rasuluaalah Saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan yahudi (yakni
utsman)?.” Setelah mendengar perkataan imam abu hanifah tersebut, bergetarlah
seluruh tubuh laki-laki tersebut, kemudian ia berkata “asstagfiruallah, aku
memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku ucapkan, aku bertaubat
dari tuduhan busuk yang aku lontarkan.” Demikian sekilas cerita yang menjadi
bukti bahwa imam abu hanifah memiliki kecerdasan dan kepandaian yang luar
biasa. (Aizid, 2016, hal 46-49).
